Ayam Kampung Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Di negeri ini ayam kampung lebih banyak dikaitkan
dengan kaum proletar atau program pengentasan kemiskinan atau ketahanan pangan
di tingkat rumah tangga, akan tetapi sangat sedikit dibicarakan dari sisi
komersialisasinya atau bisnis. Istilah ayam keluarga (family poultry) atau ayam
belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry)
menjadi melekat pada ayam kampung dan diterima sebagai suatu yang sudah umum di
kalangan masyarakat luas.
Pasti berbeda ceritanyanya kalau kita berdiskusi
dengan Haji Ade Zulkarnaen. Haji Ade adalah mantan wartawan yang beralih
profesi menjadi peternak ayam kampung di rumahnya di Cicurug, Sukabumi Jawa
Barat. Beliau tak kenal lelah jika membicarakan tentang prospek bisnis ayam
kampung. Meski ayam kampung lebih dicitrakan/diartikan “lokal”, “serabutan”
atau “usaha kecil”, akan tetapi Haji Ade beranggapan bahwa peternak ayam
kampung adalah tuan di negeri sendiri.
Dengan begitu sudah barang tentu Haji Ade punya
alasan untuk mengatakan demikian. Peternak ayam kampung mampu menentukan segala
sesuatunya sendiri, mulai dari pakan, kandang, obat-obatan dan bahkan harga
jual ayam kampungnya. Permasalahan yang kerap muncul di ayam kampung lebih
seputar bagaimana mempertahankan ketersediaan bibit ayam usia sehari dengan
kuantitas dan kualitas yang baik, sehingga kestabilan pasokan ayam kampung
dapat terjaga dengan baik. Hal yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan
antara pasokan dengan permintaan akan daging dan telur yang cenderung meningkat
secara eksponensial dikarenakan sifat genetik ayam kampung.
Sepanjang sejarah perunggasan yang terjadi di
negeri ini, belum pernah terdengar permintaan akan daging atau telur ayam
kampung menurun. Cenderung selalu terjadi ketimpangan yang sangat besar antara
kemampuan pasokan dengan tingkat permintaan dari pasar. Untuk kebutuhan kota
Jakarta dan sekitarnya saja, baru bisa terpenuhi 12 ribu atau 9 persen dari
total permintaan sebesar 150 ribu ekor per bulan (Kontan On-line, 2008).
Meski ayam kampung diberi nama ”ayam buras”
(bukan ras) oleh pemerintah, namun atribut ”kampung” atau ”tabungan hidup orang
desa” tetap saja melekat didalamnya. Jika dilihat dari segi preferensi
konsumen, daging ayam kampung jauh lebih gurih dan lezat daripada ayam ras dan
telurnya mempunyai ciri khas tersendiri. Tekstur otot yang khas yang tebal,
rendah kandungan lemak dan kolesterol menjadikan daging ayam kampung jauh lebih
unggul dari ayam ras. Hal ini menyebabkan harga daging maupun telur ayam
kampung pasti lebih mahal dari ayam ras.
Ayam kampung sebagian besar dihasilkan di desa,
tetapi penikmat kuliner daging ayam kampung sesungguhnya lebih banyak di
kota-kota besar. Lihat saja kalangan yang makan di restoran ”Ny Suharti” atau
restoran lainnya yang menunya mengandalkan ayam kampung justru adalah kelas
menengah ke atas yang mencirikan kemapanan dan status sosial yang lebih tinggi.
Cuku terlihat kontras dengan peternak ayam kampung yang kebanyakan kelas sosial
bawah atau kelas pekerja.
secara umum pemeliharaan ayam kampung dilepas
liarkan tanpa diberi pakan khusus di lahan yang sempit dengan sumberdaya yang
terbatas, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, daur reproduksi relatif
lebih panjang serta memiliki sifat mengeram, menetaskan dan memelihara anak
yang memerlukan jangka waktu hingga 21 hari. Banyak pendapat mengatakan bahwa
secara umum lebih tahan penyakit daripada ayam ras, tetapi dalam hal kejadian
penyakit Newcastle Disease (ND) atau tetelo kematian pada umur kurang dari 6
minggu seringkali mencapai 50-56 persen.
- Gejolak perunggasan
Banyak pengamat menyatakan bahwa setiap kali
terjadi gejolak di dunia perunggasan nasional, ayam kampung jarang terpengaruh.
Ayam kampung tetap mampu bertahan sebagai wujudnya sekarang, di tengah berbagai
gejolak situasi perunggasan yang pernah terjadi mulai dari fluktuasi harga
ayam, bibit ayam, pakan dan obat-obatan.
Meskipun kuatnya pukulan terhadap industri ayam
ras, ayam kampung tetap tidak dilirik para pelaku usaha meskipun permintaan dan
harga ayam kampung cenderung stabil. Harganya juga pasti naik menjelang
hari-hari besar. Hal itulah yang menyebabkan populasi ayam kampung di Indonesia
relatif cukup stabil dibandingkan dengan ayam ras. Estimasi populasi ayam
kampung di Indonesia cukup sulit. Data menyebutkan ada sekitar 260-300 juta
ekor ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri ini.
Industri perunggasan kita mempunyai banyak faktor sensitif, terutama karena
ketergantungannya pada bahan pakan impor. Gejolak harga pakan paling sering
terjadi dan dampak terberat dirasakan ayam ras. Untuk tidak terpengaruh dengan
pakan pabrikan, maka penggunaan pakan lokal menjadikan salah satu cara yang
mampu mengoptimalkan potensi ayam kampung.
Gejolak lain yang pernah melanda industri
perunggasan kita adalah wabah flu burung 2003-2004 lalu. Akan tetapi demikian
sulit diprediksi seberapa besar ayam kampung terpengaruh setelah timbulnya
wabah tersebut. Hasil penelitian terbaru menyatakan secara nasional ayam
kampung tidak terpengaruh oleh wabah flu burung, mengingat harga jual tetap
tinggi, investasinya kecil dan kontribusinya tidak signifikan terhadap
pendapatan rumah tangga (Rushton, 2008).
2.Potensi ekonomi
Sebagian besar ayam kampung hanya dijadikan
sebagai sumber uang tunai bagi rumah tangga miskin di pedesaan, belum dijadikan
sebagai komoditi yang memberikan peluang bisnis menjanjikan. Nampaknya masih
dianggap terlalu banyak kendala untuk meningkatkan budidaya ayam kampung dari
tradisional ke agribisnis intensif, karena sistemnya yang ‘low input-low
output’. Oleh karena itu ada hal-hal yang harus dirubah apabila ingin
memberlakukan ayam kampung sebagai komoditi ekonomi sama seperti halnya ayam
ras.
Hal utama yang perlu dirubah adalah motivasi
utama dan paradigm dalam memelihara ayam kampung, bukan hanya dipandang sebagai
tabungan tidak terurus dengan tidak memperhitungkan nilai jual ternak.
Investasi ternak dan kandang dianggap sebagai modal tetap serta pakan dan
tenaga kerja sebagai modal tidak tetap/biaya operasional.
Kedua, ayam kampung harus dibudidayakan secara
intensif dengan mengubah sistem pemeliharaan dari ala kadarnya menjadi
‘modern’. Pemeliharaan skala kecil dengan 10 ekor ayam betina dan 1 ekor ayam
jantan sebagai populasi dasar dalam program pengentasan kemiskinan yang biasa
dicanangkan pemerintah sulit untuk menjadi usaha yang ekonomis dan tidak akan
menjadi sumber pendapatan yang rutin bagi masyarakat. Ayam kampung cukup sulit
digunakan sebagai alat memutarbalikan proses kemiskinan yang cenderung bergerak
seperti spiral.
Ada sebuah cerita dari Haji Ade bahwa, satu ekor ayam kampung membutuhkan
biaya Rp 16.500 sampai Rp 18.500 untuk periode pemeliharaan selama 70 hari.
Jika di kandang bisa dijual dengan harga Rp 26 ribu kepada Bandar/pengepul,
akan didapatkan untung antara 34–40 persen per ekornya. Menurut beliau, profit
margin beternak seribu ekor ayam kampung setara dengan beternak 30 ribu ekor
ayam ras (Kontan On-line, 2008).
Yang ketiga, manajemen pemeliharaan ayam kampung
perlu diperbaiki agar dapat mensuplai bibit secara lebih kontinyu dan
berkualitas. Peternak perlu menggalakkan program pembibitan ayam kampung dan
pemuliabiakan yang bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta. Peranan
seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit dengan genetik sesuai dengan
yang diharapkan.
Keempat, menghitung dan mencampur ransum pakan
local secara mandiri untuk meningkatkan efisiensi konsumsi dan rasio konversi
pakan sehingga biaya yang diperlukan untuk kebutuhan pakan menjadi lebih kecil.
Nilai nutrisi pakan perlu diperbaiki seihinga dapat meningkatkan produktivitas
ayam kampung dengan suplementasi obat-obatan,probiotik,jamu herbal serta vaksin
teratur.
Pemeliharaan Ayam kampung yang dikandangkan
dengan pakan dan vaksinasi teratur serta menejemen yang baik akan bisa dipanen
dalam waktu 70 hari dengan bobot berkisar antara 8ons-1 kg. Ayam kampung tanpa
pakan teratur baru bisa memiliki bobot 1 kg setelah berumur lebih dari empat
bulan.
Kelima, jika taraf hidup peternak ayam kampung diinginkan agar bisanaik
kelas, maka yang sangat krusial yaitu faktor modal. Menurut Keputusan Presiden
Nomor 99 tahun 1998, bahwa ayam kampung dicadangkan sebagai usaha peternakan
rakyat, bukan untuk perusahaan besar. Sudah seharusnya perbankan harus
diyakinkan bahwa dengan potensi ekonomi ayam kampung, peluang kredit UKM atau
kredit mikro sangat layak untuk dipertimbangkan.Program pemerintah Bimas (Bimbingan Masyarakat) ayam ras pada 1960-an telah berhasil meningkatkan kontribusi ayam ras terhadap kebutuhan pangan daging nasional ke taraf cukup tinggi di atas 50%, sementara ayam kampung masih bertahan pada posisi di bawah 10% dengan populasi seperlima dari ayam ras pedaging (1,2 miliar ekor pada 2010). Dan jumlah ini berbanding terbalik dengan peternaknya, ayam kampung dipelihara oleh 80% dan ayam ras dipelihara oleh 20% peternak.
Mengapa ayam kampung tidak hilang atau musnah dari bumi Indonesia dengan adanya perkembangan ayam ras yang cukup fantastis? Banyak hal penyebabnya, diantaranya adalah (i) adanya rasa menyatunya kehidupan masyarakat pedesaan dengan ayam kampung, (ii) sifat ayam kampung yang sangat menyatu dengan keadaan lingkungan di pedesaan dan tidak musnah oleh serangan penyakit Newcastle Deseases(ND), bahkan penyakit flu burung yang merebak pada tahun 2003-2007, (iii) dapat tumbuh normal dengan kondisi kualitas pakan di pedesaan, (iv) adanya sifat mengeram yang ampuh dalam mempertahankan keturunannya. Kelebihan seperti di atas inilah yang mungkin dilihat dari waktu ke waktu oleh pemerintah dan para pencinta ayam kampung untuk melestarikannya.
Pengembangan Ayam Kampung
Berbagai peraturan dan program pemerintah telah dikeluarkan dalam rangka melindungi dan mengembangkan ayam Kampung. Program-program selama ini diantaranya dikenal dengan program INVAK (Intensifikasi Vaksinasi penyakit Newcastle Deseases (ND)), INTAB (Intensifikasi Pemeliharaan Ayam Buras), VBC (Village Breeding Center), RRMC (Rural Rearing Multiplication Center), VPF (village poultry family),dan sebagainya, yang keberhasilannya naik turun. Penyebab naik turunnya keberhasilan diduga salah satunya adalah ketidaktersediaan bibit ayam kampung yang cukup.
Pemerintah pun kelihatannya tidak berani untuk membuat peraturan perbanyakan bibit melalui investasi besar. Disamping kurangnya keyakinan dan kemampuan pemerintah sendiri dalam membuat keputusan untuk membangun pusat-pusat pembibitan ayam kampung, juga adanya tekanan terhadap dorongan perkembangan ayam ras yang semakin mendesak. Peraturan Presiden nomor 36/2010 mungkin dapat dikatakan sebagai suatu kompromi pemerintah dalam rangka memberikan peluang untuk sedikit meningkatkan populasi bibit ayam Kampung untuk memenuhi permintaan yang semakin berkembang dalam dasawarsa terakhir ini.
Desakan masyarakat terutama kepada pemerintah, mengenai pentingnya mengurusi ayam kampung ini terus mengalir, sehingga tidak sedikit pemerintah menyediakan investasi publik melalui berbagai program bantuan khusus untuk ayam kampung. Ditambah dengan permintaan akan produk daging ayam kampung semakin meningkat dengan superioritas daging ayam Kampung dari daging ayam ras oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Konsistensi perjuangan Himpuli dan para pemerhati ayam asli terhadap keberadaan ayam lokal asli di Indonesia ini rupanya juga menjadi kekhawatiran dunia akan musnahnya ternak-ternak asli, disebabkan terlalu kerasnya pemanfaatan ternak-ternak sintesis hasil seleksi dan persilangan dan mengkesampingkan pelestarian ternak asli. FAO (Food and Agriculture Organization) pada2007 mengeluarkan semacam deklarasi upaya pelestarian ternak-ternak asli dunia, yang harus dilaksanakan oleh para anggota negaranya termasuk Indonesia.
Oleh itu, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang didalamnya menyatakan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik ternak. Dalam realisasinya, Kementerian Pertanian telah membuat blue printayam lokal yang akan dijadikan dasar pembangunan ayam lokal di Indonesia dengan meningkatkan kontribusi nasional ayam lokal pada tingkat 25% pada 2019, yang artinya sekitar 400 juta ekor per tahun ayam lokal harus diproduksi.
Membangun Pembibitan
Peluang besar bagi para perbanyakan bibit ayam kampung terbuka lebar. Porsi pembibit tentunya tidak perlu sebanyak para pembudidaya pembesaran ayam lokal. Adanya Perpres No. 36 Tahun 2010 yang membatasi investasi usaha ayam kampung dengan aset maksimal Rp 10 milyar untuk sementara ini diharapkan dapat membantu para peternak ayam lokal untuk meproduksi bibit. Promosi ayam sehat terus dilakukan melalui promosi sistem pemeliharaan intensif sesuai dengan panduan good farming practice yang disarankan Direktorat Budidaya Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan upaya-upaya masyarakat lainnya dengan kesadarannya dalam menyediakan daging ayam sehat.
pak lukman bisa saya di bagikan ilmu untuk bertenak ayam kampung herbal
ReplyDelete