Pages

Monday, July 30, 2012

usaha ayam kampung

Ayam Kampung Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Di negeri ini ayam kampung lebih banyak dikaitkan dengan kaum proletar atau program pengentasan kemiskinan atau ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, akan tetapi sangat sedikit dibicarakan dari sisi komersialisasinya atau bisnis. Istilah ayam keluarga (family poultry) atau ayam belakang rumah (backyard poultry) atau ayam pedesaan (village/rural poultry) menjadi melekat pada ayam kampung dan diterima sebagai suatu yang sudah umum di kalangan masyarakat luas.
Pasti berbeda ceritanyanya kalau kita berdiskusi dengan Haji Ade Zulkarnaen. Haji Ade adalah mantan wartawan yang beralih profesi menjadi peternak ayam kampung di rumahnya di Cicurug, Sukabumi Jawa Barat. Beliau tak kenal lelah jika membicarakan tentang prospek bisnis ayam kampung. Meski ayam kampung lebih dicitrakan/diartikan “lokal”, “serabutan” atau “usaha kecil”, akan tetapi Haji Ade beranggapan bahwa peternak ayam kampung adalah tuan di negeri sendiri.
Dengan begitu sudah barang tentu Haji Ade punya alasan untuk mengatakan demikian. Peternak ayam kampung mampu menentukan segala sesuatunya sendiri, mulai dari pakan, kandang, obat-obatan dan bahkan harga jual ayam kampungnya. Permasalahan yang kerap muncul di ayam kampung lebih seputar bagaimana mempertahankan ketersediaan bibit ayam usia sehari dengan kuantitas dan kualitas yang baik, sehingga kestabilan pasokan ayam kampung dapat terjaga dengan baik. Hal yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dengan permintaan akan daging dan telur yang cenderung meningkat secara eksponensial dikarenakan sifat genetik ayam kampung.
Sepanjang sejarah perunggasan yang terjadi di negeri ini, belum pernah terdengar permintaan akan daging atau telur ayam kampung menurun. Cenderung selalu terjadi ketimpangan yang sangat besar antara kemampuan pasokan dengan tingkat permintaan dari pasar. Untuk kebutuhan kota Jakarta dan sekitarnya saja, baru bisa terpenuhi 12 ribu atau 9 persen dari total permintaan sebesar 150 ribu ekor per bulan (Kontan On-line, 2008).
Meski ayam kampung diberi nama ”ayam buras” (bukan ras) oleh pemerintah, namun atribut ”kampung” atau ”tabungan hidup orang desa” tetap saja melekat didalamnya. Jika dilihat dari segi preferensi konsumen, daging ayam kampung jauh lebih gurih dan lezat daripada ayam ras dan telurnya mempunyai ciri khas tersendiri. Tekstur otot yang khas yang tebal, rendah kandungan lemak dan kolesterol menjadikan daging ayam kampung jauh lebih unggul dari ayam ras. Hal ini menyebabkan harga daging maupun telur ayam kampung pasti lebih mahal dari ayam ras.
Ayam kampung sebagian besar dihasilkan di desa, tetapi penikmat kuliner daging ayam kampung sesungguhnya lebih banyak di kota-kota besar. Lihat saja kalangan yang makan di restoran ”Ny Suharti” atau restoran lainnya yang menunya mengandalkan ayam kampung justru adalah kelas menengah ke atas yang mencirikan kemapanan dan status sosial yang lebih tinggi. Cuku terlihat kontras dengan peternak ayam kampung yang kebanyakan kelas sosial bawah atau kelas pekerja.
secara umum pemeliharaan ayam kampung dilepas liarkan tanpa diberi pakan khusus di lahan yang sempit dengan sumberdaya yang terbatas, pertumbuhan lambat, produksi telur rendah, daur reproduksi relatif lebih panjang serta memiliki sifat mengeram, menetaskan dan memelihara anak yang memerlukan jangka waktu hingga 21 hari. Banyak pendapat mengatakan bahwa secara umum lebih tahan penyakit daripada ayam ras, tetapi dalam hal kejadian penyakit Newcastle Disease (ND) atau tetelo kematian pada umur kurang dari 6 minggu seringkali mencapai 50-56 persen.
  1. Gejolak perunggasan
 
Banyak pengamat menyatakan bahwa setiap kali terjadi gejolak di dunia perunggasan nasional, ayam kampung jarang terpengaruh. Ayam kampung tetap mampu bertahan sebagai wujudnya sekarang, di tengah berbagai gejolak situasi perunggasan yang pernah terjadi mulai dari fluktuasi harga ayam, bibit ayam, pakan dan obat-obatan.
Meskipun kuatnya pukulan terhadap industri ayam ras, ayam kampung tetap tidak dilirik para pelaku usaha meskipun permintaan dan harga ayam kampung cenderung stabil. Harganya juga pasti naik menjelang hari-hari besar. Hal itulah yang menyebabkan populasi ayam kampung di Indonesia relatif cukup stabil dibandingkan dengan ayam ras. Estimasi populasi ayam kampung di Indonesia cukup sulit. Data menyebutkan ada sekitar 260-300 juta ekor ayam kampung tersebar dari perkotaan sampai pelosok negeri ini.
Industri perunggasan kita mempunyai banyak faktor sensitif, terutama karena ketergantungannya pada bahan pakan impor. Gejolak harga pakan paling sering terjadi dan dampak terberat dirasakan ayam ras. Untuk tidak terpengaruh dengan pakan pabrikan, maka penggunaan pakan lokal menjadikan salah satu cara yang mampu mengoptimalkan potensi ayam kampung.
Gejolak lain yang pernah melanda industri perunggasan kita adalah wabah flu burung 2003-2004 lalu. Akan tetapi demikian sulit diprediksi seberapa besar ayam kampung terpengaruh setelah timbulnya wabah tersebut. Hasil penelitian terbaru menyatakan secara nasional ayam kampung tidak terpengaruh oleh wabah flu burung, mengingat harga jual tetap tinggi, investasinya kecil dan kontribusinya tidak signifikan terhadap pendapatan rumah tangga (Rushton, 2008).
2.Potensi ekonomi
 
Sebagian besar ayam kampung hanya dijadikan sebagai sumber uang tunai bagi rumah tangga miskin di pedesaan, belum dijadikan sebagai komoditi yang memberikan peluang bisnis menjanjikan. Nampaknya masih dianggap terlalu banyak kendala untuk meningkatkan budidaya ayam kampung dari tradisional ke agribisnis intensif, karena sistemnya yang ‘low input-low output’. Oleh karena itu ada hal-hal yang harus dirubah apabila ingin memberlakukan ayam kampung sebagai komoditi ekonomi sama seperti halnya ayam ras.
Hal utama yang perlu dirubah adalah motivasi utama dan paradigm dalam memelihara ayam kampung, bukan hanya dipandang sebagai tabungan tidak terurus dengan tidak memperhitungkan nilai jual ternak. Investasi ternak dan kandang dianggap sebagai modal tetap serta pakan dan tenaga kerja sebagai modal tidak tetap/biaya operasional.
Kedua, ayam kampung harus dibudidayakan secara intensif dengan mengubah sistem pemeliharaan dari ala kadarnya menjadi ‘modern’. Pemeliharaan skala kecil dengan 10 ekor ayam betina dan 1 ekor ayam jantan sebagai populasi dasar dalam program pengentasan kemiskinan yang biasa dicanangkan pemerintah sulit untuk menjadi usaha yang ekonomis dan tidak akan menjadi sumber pendapatan yang rutin bagi masyarakat. Ayam kampung cukup sulit digunakan sebagai alat memutarbalikan proses kemiskinan yang cenderung bergerak seperti spiral.
Ada sebuah cerita dari Haji Ade bahwa, satu ekor ayam kampung membutuhkan biaya Rp 16.500 sampai Rp 18.500 untuk periode pemeliharaan selama 70 hari. Jika di kandang bisa dijual dengan harga Rp 26 ribu kepada Bandar/pengepul, akan didapatkan untung antara 34–40 persen per ekornya. Menurut beliau, profit margin beternak seribu ekor ayam kampung setara dengan beternak 30 ribu ekor ayam ras (Kontan On-line, 2008).
Yang ketiga, manajemen pemeliharaan ayam kampung perlu diperbaiki agar dapat mensuplai bibit secara lebih kontinyu dan berkualitas. Peternak perlu menggalakkan program pembibitan ayam kampung dan pemuliabiakan yang bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan swasta. Peranan seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit dengan genetik sesuai dengan yang diharapkan.
Keempat, menghitung dan mencampur ransum pakan local secara mandiri untuk meningkatkan efisiensi konsumsi dan rasio konversi pakan sehingga biaya yang diperlukan untuk kebutuhan pakan menjadi lebih kecil. Nilai nutrisi pakan perlu diperbaiki seihinga dapat meningkatkan produktivitas ayam kampung dengan suplementasi obat-obatan,probiotik,jamu herbal serta vaksin teratur.
Pemeliharaan Ayam kampung yang dikandangkan dengan pakan dan vaksinasi teratur serta menejemen yang baik akan bisa dipanen dalam waktu 70 hari dengan bobot berkisar antara 8ons-1 kg. Ayam kampung tanpa pakan teratur baru bisa memiliki bobot 1 kg setelah berumur lebih dari empat bulan.
Kelima, jika taraf hidup peternak ayam kampung diinginkan agar bisanaik kelas, maka yang sangat krusial yaitu faktor modal. Menurut Keputusan Presiden Nomor 99 tahun 1998, bahwa ayam kampung dicadangkan sebagai usaha peternakan rakyat, bukan untuk perusahaan besar. Sudah seharusnya perbankan harus diyakinkan bahwa dengan potensi ekonomi ayam kampung, peluang kredit UKM atau kredit mikro sangat layak untuk dipertimbangkan.
Program pemerintah Bimas (Bimbingan Masyarakat) ayam ras pada 1960-an telah berhasil meningkatkan kontribusi ayam ras terhadap kebutuhan pangan daging nasional ke taraf cukup tinggi di atas 50%, sementara ayam kampung masih bertahan pada posisi di bawah 10% dengan populasi seperlima dari ayam ras pedaging (1,2 miliar ekor pada 2010). Dan jumlah ini berbanding terbalik dengan peternaknya, ayam kampung dipelihara oleh 80% dan ayam ras dipelihara oleh 20% peternak.
Mengapa ayam kampung tidak hilang atau musnah dari bumi Indonesia dengan adanya perkembangan ayam ras yang cukup fantastis? Banyak hal penyebabnya, diantaranya adalah (i) adanya rasa menyatunya kehidupan masyarakat pedesaan dengan ayam kampung, (ii) sifat ayam kampung yang sangat menyatu dengan keadaan lingkungan di pedesaan dan tidak musnah oleh serangan penyakit Newcastle Deseases(ND), bahkan penyakit flu burung yang merebak pada tahun 2003-2007, (iii) dapat tumbuh normal dengan kondisi kualitas pakan di pedesaan, (iv) adanya sifat mengeram yang ampuh dalam mempertahankan keturunannya. Kelebihan seperti di atas inilah yang mungkin dilihat dari waktu ke waktu oleh pemerintah dan para pencinta ayam kampung untuk melestarikannya.
Pengembangan Ayam Kampung
Berbagai peraturan dan program pemerintah telah dikeluarkan dalam rangka melindungi dan mengembangkan ayam Kampung. Program-program selama ini diantaranya dikenal dengan program INVAK (Intensifikasi Vaksinasi penyakit Newcastle Deseases (ND)), INTAB (Intensifikasi Pemeliharaan Ayam Buras), VBC (Village Breeding Center), RRMC (Rural Rearing Multiplication Center), VPF (village poultry family),dan sebagainya, yang keberhasilannya naik turun. Penyebab naik turunnya keberhasilan diduga salah satunya adalah ketidaktersediaan bibit ayam kampung yang cukup.
Pemerintah pun kelihatannya tidak berani untuk membuat peraturan perbanyakan bibit melalui investasi besar. Disamping kurangnya keyakinan dan kemampuan pemerintah sendiri dalam membuat keputusan untuk membangun pusat-pusat pembibitan ayam kampung, juga adanya tekanan terhadap dorongan perkembangan ayam ras yang semakin mendesak. Peraturan Presiden nomor 36/2010 mungkin dapat dikatakan sebagai suatu kompromi pemerintah dalam rangka memberikan peluang untuk sedikit meningkatkan populasi bibit ayam Kampung untuk memenuhi permintaan yang semakin berkembang dalam dasawarsa terakhir ini.


Desakan masyarakat terutama kepada pemerintah, mengenai pentingnya mengurusi ayam kampung ini terus mengalir, sehingga tidak sedikit pemerintah menyediakan investasi publik melalui berbagai program bantuan khusus untuk ayam kampung. Ditambah dengan permintaan akan produk daging ayam kampung semakin meningkat dengan superioritas daging ayam Kampung dari daging ayam ras oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Konsistensi perjuangan Himpuli dan para pemerhati ayam asli terhadap keberadaan ayam lokal asli di Indonesia ini rupanya juga menjadi kekhawatiran dunia akan musnahnya ternak-ternak asli, disebabkan terlalu kerasnya pemanfaatan ternak-ternak sintesis hasil seleksi dan persilangan dan mengkesampingkan pelestarian ternak asli. FAO (Food and Agriculture Organization) pada2007 mengeluarkan semacam deklarasi upaya pelestarian ternak-ternak asli dunia, yang harus dilaksanakan oleh para anggota negaranya termasuk Indonesia.
Oleh itu, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang didalamnya menyatakan pemanfaatan dan pelestarian sumber daya genetik ternak. Dalam realisasinya, Kementerian Pertanian telah membuat blue printayam lokal yang akan dijadikan dasar pembangunan ayam lokal di Indonesia dengan meningkatkan kontribusi nasional ayam lokal pada tingkat 25% pada 2019, yang artinya sekitar 400 juta ekor per tahun ayam lokal harus diproduksi.
Membangun Pembibitan
Peluang besar bagi para perbanyakan bibit ayam kampung terbuka lebar. Porsi pembibit tentunya tidak perlu sebanyak para pembudidaya pembesaran ayam lokal. Adanya Perpres No. 36 Tahun 2010 yang membatasi investasi usaha ayam kampung dengan aset maksimal Rp 10 milyar untuk sementara ini diharapkan dapat membantu para peternak  ayam lokal untuk meproduksi bibit.  Promosi ayam sehat terus dilakukan melalui promosi sistem pemeliharaan intensif sesuai dengan panduan good farming practice yang disarankan Direktorat Budidaya Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan upaya-upaya masyarakat lainnya dengan kesadarannya dalam menyediakan daging ayam sehat.




1 komentar:

  1. pak lukman bisa saya di bagikan ilmu untuk bertenak ayam kampung herbal

    ReplyDelete