Pages

Monday, November 26, 2012

MAKALAH PEMULIAAN TERNAK :SAPI BALI"



BAB 1 PENDAHULUAN

1.1        Latar belakang

Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian, dimana sektor memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pakan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk Indonensia, dan peningkatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia dan taraf hidup pertani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan tersebut ternyata berdampak pada perubahan konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi karbohidrat ke arah konsumsi seperti daging, telur, susu (Putu, et al., 1997). Lebih lanjut dijelaskan bahwa permintaan akan telur dan daging ayam dalam negeri saat ini telah dapat dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi susu dan daging sapi masih memerlukan pasokan dari luar negeri. Berbagai usaha pembangunan peternakan telah diupayakan oleh pemerintah sampai ke pelosok daerah namun masih terdapat kekurangan produksi yang akan mensuplay kebutuhan penduduk Indonesia akan protein hewani.
Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi tidak seimbang dengan kebutuhan nasional, sehingga terjadi impor sapi potong bakalan dan daging (Putu, et al., 1997). Kebutuhan daging sapi di Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu ; peternakan rakyat (ternak lokal), industri peternakan rakyat (hasil penggemukan sapi ex-import) dan impor daging (Oetoro, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk tetap menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan ternak potong, usaha peternakan rakyat tetap menjadi tumpuan utama, namun tetap menjaga kelestarian sumberdaya ternak sehingga setiap tahun mendapat tambahan akhir positif.
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia mempunyai potensi yang besar, diharapkan dapat mensuplay sebagian dari kekurangan tersebut. Sapi Bali mempunyai populasi dengan jumlah 2.632.125 ekor atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia (Anonimus, 1999). Adapun perbandingan populasi sapi Ongole, Peranakan Ongole, Bali, sapi Madura dan sapi lainnya Tahun 1988 dapat dilihat pada Tabel 1.







Tabel 1. Jumlah populasi sapi Ongole, Peranakan Ongole, Bali dan sapi Madura Tahun 1988*
Bangsa
Jumlah
Persentase
Ongole
Peranakan Ongole
Bali
Madura
Lainnya
260.094
773.165
2.632.125
1.131.375
4.979.830
2.66
8.17
26.92
11.57
50.68
*Anonimus, (1999).
Tabel 1 menunjukkan bahwa di Indonesia sapi potong masih didominasi sapi lainnya yang di impor dari negara lain misalnya Australia, dan tidak menutup kemungkinan bahwa jika perhatian ke ternak lokal tidak sedini mungkin di antisipasi maka ternak lokal akan semakin terkuras populasinya.
Di Indonesia perkembangan sapi Bali sangat cepat dibanding dengan breed potong lainnya, hal tersebut disebabkan breed ini lebih diminati oleh petani kecil karena beberapa keunggulannya yang antara laian, tingkat kesuburunnya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik dan efesien serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi dimana breed lainnya tidak dapat (Moran, 1990), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase beranak dapat mencapai 80 persen (Ngadiyono, 1997). Selain beberapa keunggulan di atas terdapat juga beberapa kekurangan yakni bahwa sapi Bali pertumbuhannya lambat, rentan terhadap penyakit tertentu misalnya; penyakit jembrana, peka terhadap penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmaja, 1980; Hardjosubroto, 1994).





BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
            Sapi Bali merupakan plasma nutfa Indonesia yang mana penyebarannya sangat luas di beberapa Provinsi di Indonesia. Melihat permintaan daging yang cukup besar di Negara kita mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang terkait untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola secara lebih serius lagi. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki oleh sapi bali yaitu Kemampuan adaptasi di lingkungan yang memiliki ketersediaan pakan berkualitas rendah dan Fertilitas pada sapi bali sangatlah baik. Sapi Bali pertama kali di domestikasi di Propinsi Bali dan sekarang menjadi pusat pemurniaan sapi bali dan sangat proteksi bagi masuknya sapi bangsa lain. Ini sangat beralasan mengingat Indonesia merupakan pusat gen sapi bali di dunia. Selain di Bali di propinsi lain di Indonesia sudah melakukan upaya pemurnian sapi bali salah satunya adalah Propinsi Sulawesi selatan. Yang mana telah menunjuk 2 kabupaten yaitu Kabupaten Bone dan Kabupaten Barru sebagai tempat pemurnian sapi bali.  Menurut Eko Handiwirawan dan Subandriyo(2004). Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Bali = Potency and genetic diversity of Bali cattle. Wartazoa Vol. 14(3)107-115. Upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali yang saat ini tengah dilakukan di wilayah peternakan murni (Propinsi Bali) melalui P3 Bali melalui seleksi dan uji keturunan berhasil mendapatkan sapi dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik. Pejantan elit yang dihasilkan melalui program tersebut diharapkan dapat memperbaiki sapi Bali secara keseluruhan melalui program IB. Perbaikan mutu genetik melalui persilangan dengan bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus yang terjadi di kantong-kantong sumber bibit mampu menghasilkan sapi hasil persilangan yang memiliki produktivitas cukup baik untuk final stock. Terdapat kecenderungan untuk terus meningkatkan komposisi genetik sapi Bos taurus melalui program IB di peternakan rakyat. Evaluasi mungkin perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang ideal agar dapat berproduksi optimal sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
Sapi Bali merupakan salah satu Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) asli Indonesia yang mempunyai banyak keunggulan, antara lain memiliki daya tahan tubuh yang baik terhadap cekaman lingkungan, mampu tumbuh dengan baik pada kondisi buruk, tingkat produktivitasnya tinggi serta kualitas daging yang baik. Demikian disampaikan Direktur Pembibitan Deptan, Dr. Ir Gunawan, MS, di sela sambutannya pada acara Pertemuan Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali, di Badung, Bali. Dalam sambutannya, Dr. Ir. Gunawan, MS juga mengemukakan, populasi sapi Bali saat ini mencapai sekitar 3,3 juta ekor yang tersebar di seluruh Indonesia dengan konsentrasi utama di Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Lampung dan Sumatera Selatan. Meskipun sapi Bali telah menyebar ke sebagian besar wilayah Indonesia, namun sapi Bali murni hanya di Bali, sedangkan di daerah lainnya diasumsikan memiliki kemurnian 80%. Ditambahkannya, akhir-akhir ini terlihat banyak terjadi kasus inbreeding, pemotongan betina produktif dan keluaran sapi penjantan, sehingga populasi dan performans sapi Bali tidak dapat bertumbuh dengan baik. Karena itu, agar upaya peningkatan mutu genetik sapi Bali dapat lebih terencana dan terarah khususnya di daerah-daerah yang telah ditetapkan menjadi kawasan sumber bibit, maka diselenggarakan Pertemuan Peningkatan Mutu Genetik Sapi ini melalui kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dengan Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Badung. Adapun tujuan dari pertemuan yang berlangsung belum lama ini, antara lain, untuk menyempurnakan petunjuk teknis peningkatan mutu genetik sapi Bali, mengkomunikasikan langkah-langkah pengembangan sapi Bali dan mensosialisasikan petunjuk teknis penetapan galur/rumpun Sumber Daya Genetik Ternak. Sedangkan keluaran yang diharapkan dari pertemuan ini antara lain, penyempurnaan Petunjuk Teknis Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali, Rencana Kegiatan Pengembangan Sapi Bali pada tahun 2009 dan tersosialisasinya informasi petunjuk teknis (Juknis) penetapan Galur/Rumpun Sumber Daya Genetik Ternak








BAB 3 PEMBAHASAN
           Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang populasinya telah mencapai 2.632.124 ekor atau sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia (Anonimus, 1999). Penyebaran sapi Bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi Bali terbesar di Sulawesi selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok, namun kemurnian sapi Bali tetap dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya dilakukan oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali). Hardjosubroto (1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis. Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan oleh karena juga didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Martojo (1989) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali diberbagai wilayah di Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.

           Kebutuhan akan adanya suatu Rancangan Program Pemuliaan Ternak Nasional yang mempunyai dasar hukum telah lama dirasakan (Martojo, 1989). Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa gagasan atau usulan telah diajukan pada masa REPELITA I sampai IV oleh Direktorat Jenderal Peternakan setiap REPELITA. Penyusunan rancangan pengembangan dan pemuliaan diperlukan analisis daya dukung wilayah. Untuk hal tersebut telah dilaksanakan penelitian potensi wilayah di seluruh Indonesia (Anonimus, 1998). Hasil yang diperoleh menetapkan wilayah-wilayah pengembangan dengan mengacu pada ketersediaan pakan ternak dengan perhitungan daya tampung per satuan Unit Ternak. Sampai tahun 1996 diperkirakan daya tampung sebesar 36,3 juta ST, potensi ini bervariasi antar provinsi yakni; Jawa dan Bali 55%, Sumatra 22%, Kalimantan 4%, Sulawesi 11% dan Wilayah Indonesia lainnya 8%. Dengan demikian terdapat beberapa provinsi yang berpotensi untuk pengembangan ruminansia khususnya sapi Bali. Martojo (1989) menyatakan bahwa pengembangan ruminansia diwilayah tertentu selanjutnya dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak. Salah satu cara untuk mempertahankan mutu genetik sapi Bali dan berbagai bangsa sapi lain di daerah sumber bibit adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari berbagai mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah dan mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai ternak pengganti. Selain cara tersebut diatas dapat pula dilakukan persilangan sapi Bali dengan berbagai bangsa lain. Martojo (1989) menyatakan bahwa persilangan sapi Bali dengan berbagai bangsa lain menghasilkan sapi silangan yang menunjukkan sifat pertumbuhan yang meningkat sebanyak 50 – 100 %. Hal ini terutama terjadi sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos Taurus, dan berbagai bangsa baru silangan seperti Santa Gertrudis, Droughtmaster, Belmot Red, Braford, Brangus dan lainnya.
Upaya pelestarian sapi Bali
            Perhatian terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama. NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah telah menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Bali dan Pulau Sumbawa. Sementara itu, sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi Bali yang baik. Program ini kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949, dimana pemilik sapi jantan yang terpilih baik mendapat sejumlah subsidi uang setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan terus memperbaiki kualitas sapi miliknya (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Perhatian pemerintah yang lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia, selanjutnya diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau melalui persilangan antar bangsa ternak (DJARSANTO, 1997). Khusus untuk sapi Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi program pemurnian dan peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan murni sapi Bali ditetapkan Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai pada tahun 1976, di Pulau Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali dengan melakukan seleksi dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya melalui Proyek Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) (SOEHADJI, 1990). Sementara itu, persilangan hanya dapat dilakukan di luar wilayah peternakan murni. Dalam perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu), kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi, yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung. Walaupun demikian, Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali yang terdapat di Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya penetapan daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung program pelestarian plasma nutfah ternak asli tersebut. Pelestarian sapi Bali perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan bangsa sapi baru untuk dapat mengantisipasi perubahan selera pasar di masa depan yang tidak mudah untuk diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan timbulnya perhatian/pandangan yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka terdapat perubahan permintaan pada industri peternakan untuk menghasilkan daging dengan kandungan lemak rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu bangsa ternak tertentu. Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut dapat direspon dengan membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal seperti Brangus, Santa Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 57 Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain merupakan bangsa sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam bangsa sapi yang masih dipertahankan ada/dilestarikan.
            Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai cirri-ciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Perbaikan mutu genetik sapi Bali
            Program pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah. Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).
            Dalam kegiatan ini, pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan dipergunakan BIB untuk Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 58 diambil semennya guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia. Dari kegiatan ini terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di P3Bali dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi Bali, NTB, NTT dan Sulsel (PANE, 1990). SUKMASARI (2001) dengan menggunakan metode BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi Bali yang dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai pemuliaan dugaan lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar (Marga, Baturiti, Selemadeg, Penebel). Namun demikian kecenderungan genetik yang merupakan perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu populasi dalam waktu tertentu untuk bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan kemiringan berturut-turut –0,60 dan – 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan bobot badan harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari 1991-2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitiannya tersebut, SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi agar didasarkan pada nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat. Di luar wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk melakukan persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan Bos indicus banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong bibit (NTT, NTB dan Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali terhadap penyakit Jembrana dan MCF, program persilangan berdampak positif terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil persilangan memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena pewarisan gen sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan ini dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak memiliki kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari bangsa tersebut untuk dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin, Hereford dan Brangus. Tidak jarang anak betina hasil persilangan di-IB dengan bangsa sapi yang sama kembali dan demikian seterusnya sehingga komposisi genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan yang demikian dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan tersebut pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali dengan komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada sapi Bali nampaknya perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi persilangan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dimana sapi tersebut dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi Daerah maka masing masing wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan mempunyai program persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha dan kemampuan sumberdaya alamnya.
Sifat Pewarisan Sapi Bali
            Seleksi sapi Bali dapat menyebabkan perubahan keragaman genetik, tergantung dari cara seleksi yang digunakan. Seleksi secara langsung mengakibatkan  ragam  genetik berkurang sampai tercapainya keadaan konstan pada suatu generasi tertentu. Dengan seleksi terarah suatu sifat yang dikehendaki maka mutu genetik dapat ditingkatkan. Dalam memilih suatu sifat untuk dijadikan dasar seleksi perlu dipertimbangkan beberapa hal, yaitu tujuan program seleksi, nilai heritabilitas suatu sifat, nilai ekonomi dari adanya peningkatan sifat, korelasi antar sifat serta  biaya dan waktu dari program seleksi. Beberapa sifat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi meliputi fertilitas, daya hidup, nilai karkas, bobot lahir, bobot sapih, tipe dan konformasi tubuh, bobot dan kualitas bulu, (Rusfidra,2006).



Potensi Persilangan Sapi Bali
            Perkawinan silang atau persilangan merupakan jalan pintas untuk memperoleh individu-individu yang memiliki sejumlah sifat unggul yang dipunyai oleh kedua bangsa tetuanya. Di negara berkembang, ternak tidak diseleksi secara intensif untuk sifat tertentu seperti pertambahan bobot badan, akan tetapi bangsa ternak asli sering mempunyai resistensi yang tinggi terhadap parasit, toleransi tinggi terhadap keadaan cuaca yang kurang menguntungkan serta dapat tumbuh baik pada kondisi pakan yang berkualitas jelek. Bila disilangkan dengan bangsa ternak produktif dari negara lain, maka turunan pertamanya sering lebih baik hasilnya dibanding dengan ternak asli. Turunan ini ternyata menggabungkan gen-gen untuk produktivitas dengan daya adaptasi dari kedua bangsa tetua dan meningkatkan heterosis effect. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kelemahan grading up adalah bila persilangan dilakukan secara terus menerus ke arah ternak impor, maka sifat heterosis dan kualitas adaptasi dapat hilang serta produksi menjadi turun dan bahkan jauh lebih rendah dari bangsa ternak asli. Karena itu sebelum melaksanakan program grading up, harus direncanakan sampai generasi keberapa persilangan dilakukan dan untuk tujuan apa turunan persilangan tersebut digunakan. Seperti diketahui, apa yang diharapkan dari persilangan adalah adanya efek heterosis dalam beberapa sifat produksi sehingga melebihi rataan kedua bangsa tetuanya. Pada ternak sapi Bali yang diharapkan adalah kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga mencapai bobot potong muda yang cukup tinggi, kualitas karkas yang baik dan penggunaan pakan yang efisien serta daya adaptasi dengan lingkungan yang cukup baik. Metoda kawin silang digunakan untuk memperoleh individu yang memiliki sifat produksi unggul dalam waktu singkat.
Sebagai contoh, perbaikan mutu genetik sapi Bali melalui persilangannya dengan Sapi brahman. Sapi Bali memiliki sifat unggul seperti daya tahan tinggi terhadap perubahan cuaca, kemampuan bertahan hidup pada kondisi pakan berkualitas rendah. Sifat unggul yang diharapkan dari sapi brahman adalah sifat pertumbuhannya yang cepat, kualitas karkas yang cukup baik serta adaptasi terhadap lingkungan yang cukup baik pula, tahan terhadap penyakit serta tingkat reproduktivitas yang cukup tinggi. Dari sapi persilangan kita kehendaki adanya heterosis dalam performa produksinya. Heterosis merupakan fungsi dari perbedaan keturunan persilangan dari rataan keturunan murni.( Rusfidra,2006)
Peningkatan Kualitas genetik
            Secara Umum, ada beberapa cara yang dapat ditempuh dan dikombinasikan satu dengan yang lain untuk mempercepat peningkatan kualitas genetik dan sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi Bali yaitu:
  1. Melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan.
  2. mendatangkan pejantan unggul untuk dijadikan pejantan atau sebagai donor sperma.
  3. Membangun pusat  pembibitan pada tingkat kabupaten yang potensil dan pada tingkat propinsi.
  4. Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma dari pejantan sapi Bali unggul yang ada ataukah mendatangkan sperma dari pusat IB seperti di Lembang. Selain itu, dengan menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB.











BAB 4 KESIMPULAN
            Beberapa kelebihan yang dimiliki sapi Bali, seperti mempunyai fertilitas dan persentase karkas yang tinggi, kadar lemak daging yang rendah, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas rendah, serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di Indonesia pada umumnya.
            Perbaikan mutu genetik melalui seleksi di wilayah peternakan murni dan persilangan dengan Bos taurus di kantongkantong sumber bibit mampu memperlihatkan perbaikan produktivitas. Program persilangan untuk sapi Bali yang saat ini dilakukan perlu dibuat lebih jelas arahnya agar produksinya dapat lebih optimal.
            Pelestarian sapi Bali sangat penting dilakukan mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk dipergunakan sebagai “bahan baku” pembentukan bangsa sapi baru untuk saat ini dan di masa depan dalam mengantisipasi permintaan pasar yang terkadang sukar untuk
diprediksi.










0 komentar:

Post a Comment