BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pembangunan sub-sektor peternakan merupakan bagian
dari pembangunan sektor pertanian, dimana sektor memiliki nilai strategis dalam
memenuhi kebutuhan pakan yang terus meningkat atas bertambahnya jumlah penduduk
Indonensia, dan peningkatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia dan taraf
hidup pertani dan nelayan. Keberhasilan pembangunan tersebut ternyata berdampak
pada perubahan konsumsi masyarakat yang semula lebih banyak mengkonsumsi
karbohidrat ke arah konsumsi seperti daging, telur, susu (Putu, et al.,
1997). Lebih lanjut dijelaskan bahwa permintaan akan telur dan daging ayam
dalam negeri saat ini telah dapat dipenuhi oleh produksi lokal, akan tetapi
susu dan daging sapi masih memerlukan pasokan dari luar negeri. Berbagai usaha
pembangunan peternakan telah diupayakan oleh pemerintah sampai ke pelosok
daerah namun masih terdapat kekurangan produksi yang akan mensuplay kebutuhan
penduduk Indonesia akan protein hewani.
Kondisi peternakan sapi potong saat ini masih
mengalami kekurangan pasokan sapi bakalan lokal karena pertambahan populasi
tidak seimbang dengan kebutuhan nasional, sehingga terjadi impor sapi potong
bakalan dan daging (Putu, et al., 1997). Kebutuhan daging sapi di
Indonesia saat ini dipasok dari tiga pemasok yaitu ; peternakan rakyat (ternak lokal),
industri peternakan rakyat (hasil penggemukan sapi ex-import) dan impor daging
(Oetoro, 1997). Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk tetap menjaga keseimbangan
antara penawaran dan permintaan ternak potong, usaha peternakan rakyat tetap
menjadi tumpuan utama, namun tetap menjaga kelestarian sumberdaya ternak
sehingga setiap tahun mendapat tambahan akhir positif.
Sapi Bali merupakan breed sapi asli Indonesia
mempunyai potensi yang besar, diharapkan dapat mensuplay sebagian dari
kekurangan tersebut. Sapi Bali mempunyai populasi dengan jumlah 2.632.125 ekor
atau sekitar 26,92% dari total populasi sapi potong yang ada di Indonesia
(Anonimus, 1999). Adapun perbandingan populasi sapi Ongole, Peranakan Ongole,
Bali, sapi Madura dan sapi lainnya Tahun 1988 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah populasi sapi Ongole, Peranakan
Ongole, Bali dan sapi Madura Tahun 1988*
Bangsa
|
Jumlah
|
Persentase
|
Ongole
Peranakan Ongole
Bali
Madura
Lainnya
|
260.094
773.165
2.632.125
1.131.375
4.979.830
|
2.66
8.17
26.92
11.57
50.68
|
*Anonimus, (1999).
Tabel 1
menunjukkan bahwa di Indonesia sapi potong masih didominasi sapi lainnya yang
di impor dari negara lain misalnya Australia, dan tidak menutup kemungkinan
bahwa jika perhatian ke ternak lokal tidak sedini mungkin di antisipasi maka
ternak lokal akan semakin terkuras populasinya.
Di Indonesia perkembangan sapi Bali sangat cepat
dibanding dengan breed potong lainnya, hal tersebut disebabkan breed
ini lebih diminati oleh petani kecil karena beberapa keunggulannya yang antara
laian, tingkat kesuburunnya tinggi, sebagai sapi pekerja yang baik dan efesien
serta dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi dimana breed
lainnya tidak dapat (Moran, 1990), persentase karkas tinggi, daging tanpa
lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), daya adaptasi
yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase beranak dapat mencapai 80 persen
(Ngadiyono, 1997). Selain beberapa keunggulan di atas terdapat juga beberapa
kekurangan yakni bahwa sapi Bali pertumbuhannya lambat, rentan terhadap
penyakit tertentu misalnya; penyakit jembrana, peka terhadap penyakit ingusan (malignant
catarrhal fever) dan Bali ziekte (Darmaja, 1980; Hardjosubroto, 1994).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Sapi
Bali merupakan plasma nutfa Indonesia yang mana penyebarannya sangat luas di
beberapa Provinsi di Indonesia. Melihat permintaan daging yang cukup besar di
Negara kita mestinya dapat menjadi pendorong bagi pihak-pihak yang terkait
untuk memperbaiki produktivitas sapi dalam negeri dengan mengelola secara lebih
serius lagi. Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki oleh sapi bali yaitu
Kemampuan adaptasi di lingkungan yang memiliki ketersediaan pakan berkualitas
rendah dan Fertilitas pada sapi bali sangatlah baik. Sapi Bali pertama kali di
domestikasi di Propinsi Bali dan sekarang menjadi pusat pemurniaan sapi bali
dan sangat proteksi bagi masuknya sapi bangsa lain. Ini sangat beralasan
mengingat Indonesia merupakan pusat gen sapi bali di dunia. Selain di Bali di
propinsi lain di Indonesia sudah melakukan upaya pemurnian sapi bali salah
satunya adalah Propinsi Sulawesi selatan. Yang mana telah menunjuk 2 kabupaten
yaitu Kabupaten Bone dan Kabupaten Barru sebagai tempat pemurnian sapi bali. Menurut Eko Handiwirawan dan Subandriyo(2004).
Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Bali = Potency and genetic
diversity of Bali cattle. Wartazoa Vol. 14(3)107-115. Upaya perbaikan mutu
genetik sapi Bali yang saat ini tengah dilakukan di wilayah peternakan murni
(Propinsi Bali) melalui P3 Bali melalui seleksi dan uji keturunan berhasil
mendapatkan sapi dengan nilai pemuliaan dugaan yang lebih baik. Pejantan elit
yang dihasilkan melalui program tersebut diharapkan dapat memperbaiki sapi Bali
secara keseluruhan melalui program IB. Perbaikan mutu genetik melalui
persilangan dengan bangsa sapi Bos taurus dan Bos indicus yang terjadi di
kantong-kantong sumber bibit mampu menghasilkan sapi hasil persilangan yang
memiliki produktivitas cukup baik untuk final stock. Terdapat kecenderungan
untuk terus meningkatkan komposisi genetik sapi Bos taurus melalui program IB
di peternakan rakyat. Evaluasi mungkin perlu dilakukan untuk menentukan
komposisi genetik sapi persilangan yang ideal agar dapat berproduksi optimal
sesuai dengan kondisi lingkungan setempat.
Sapi
Bali merupakan salah satu Sumber Daya Genetik Ternak (SDGT) asli Indonesia yang
mempunyai banyak keunggulan, antara lain memiliki daya tahan tubuh yang baik
terhadap cekaman lingkungan, mampu tumbuh dengan baik pada kondisi buruk,
tingkat produktivitasnya tinggi serta kualitas daging yang baik. Demikian
disampaikan Direktur Pembibitan Deptan, Dr. Ir Gunawan, MS, di sela sambutannya
pada acara Pertemuan Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali, di Badung, Bali. Dalam
sambutannya, Dr. Ir. Gunawan, MS juga mengemukakan, populasi sapi Bali saat ini
mencapai sekitar 3,3 juta ekor yang tersebar di seluruh Indonesia dengan
konsentrasi utama di Pulau Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Lampung dan Sumatera Selatan. Meskipun
sapi Bali telah menyebar ke sebagian besar wilayah Indonesia, namun sapi Bali
murni hanya di Bali, sedangkan di daerah lainnya diasumsikan memiliki kemurnian
80%. Ditambahkannya, akhir-akhir ini terlihat banyak terjadi kasus inbreeding,
pemotongan betina produktif dan keluaran sapi penjantan, sehingga populasi dan
performans sapi Bali tidak dapat bertumbuh dengan baik. Karena itu, agar upaya
peningkatan mutu genetik sapi Bali dapat lebih terencana dan terarah khususnya
di daerah-daerah yang telah ditetapkan menjadi kawasan sumber bibit, maka
diselenggarakan Pertemuan Peningkatan Mutu Genetik Sapi ini melalui kerjasama
antara Direktorat Jenderal Peternakan dengan Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten
Badung. Adapun tujuan dari pertemuan yang berlangsung belum lama ini, antara
lain, untuk menyempurnakan petunjuk teknis peningkatan mutu genetik sapi Bali,
mengkomunikasikan langkah-langkah pengembangan sapi Bali dan mensosialisasikan
petunjuk teknis penetapan galur/rumpun Sumber Daya Genetik Ternak. Sedangkan
keluaran yang diharapkan dari pertemuan ini antara lain, penyempurnaan Petunjuk
Teknis Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali, Rencana Kegiatan Pengembangan Sapi
Bali pada tahun 2009 dan tersosialisasinya informasi petunjuk teknis (Juknis)
penetapan Galur/Rumpun Sumber Daya Genetik Ternak
BAB
3 PEMBAHASAN
Sapi
Bali merupakan breed sapi asli Indonesia yang populasinya telah
mencapai 2.632.124 ekor atau sekitar 26,92 % dari total populasi sapi potong
yang ada di Indonesia (Anonimus, 1999). Penyebaran sapi Bali telah meluas
hampir keseluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi Bali terbesar di Sulawesi
selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok, namun kemurnian sapi Bali tetap
dipertahankan di Pulau Bali, sebagai sumber bibit yang pembinaannya dilakukan
oleh Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali). Hardjosubroto
(1994) dan Soesanto (1997) menyatakan bahwa sapi Bali termasuk sapi unggul
dengan reproduksi tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis.
Sebagai sapi asli yang potensi reproduksinya lebih baik dibanding sapi lainnya
maka upaya pengembangan sapi Bali sangatlah memungkinkan oleh karena juga
didukung oleh kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat tinggi.
Martojo (1989) menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja
dan produksi daging dalam negeri, penggunaan sapi Bali diberbagai wilayah di
Indonesia mempunyai prospek yang sama baiknya.
Kebutuhan akan adanya suatu Rancangan
Program Pemuliaan Ternak Nasional yang mempunyai dasar hukum telah lama
dirasakan (Martojo, 1989). Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa gagasan atau
usulan telah diajukan pada masa REPELITA I sampai IV oleh Direktorat Jenderal
Peternakan setiap REPELITA. Penyusunan rancangan pengembangan dan pemuliaan
diperlukan analisis daya dukung wilayah. Untuk hal tersebut telah dilaksanakan penelitian potensi
wilayah di seluruh Indonesia (Anonimus, 1998). Hasil yang diperoleh menetapkan
wilayah-wilayah pengembangan dengan mengacu pada ketersediaan pakan ternak
dengan perhitungan daya tampung per satuan Unit Ternak. Sampai tahun 1996
diperkirakan daya tampung sebesar 36,3 juta ST, potensi ini bervariasi antar
provinsi yakni; Jawa dan Bali 55%, Sumatra 22%, Kalimantan 4%, Sulawesi 11% dan
Wilayah Indonesia lainnya 8%. Dengan demikian terdapat beberapa
provinsi yang berpotensi untuk pengembangan ruminansia khususnya sapi Bali.
Martojo (1989) menyatakan bahwa pengembangan ruminansia diwilayah tertentu
selanjutnya dilengkapi dengan rancangan peningkatan mutu genetik ternak. Salah
satu cara untuk mempertahankan mutu genetik sapi Bali dan berbagai bangsa sapi
lain di daerah sumber bibit adalah menghitung dengan tepat jumlah sapi dari
berbagai mutu genetik bibit yang dapat dikeluarkan, seimbang dengan jumlah dan
mutu bibit yang perlu dipertahankan sebagai ternak pengganti. Selain cara
tersebut diatas dapat pula dilakukan persilangan sapi Bali dengan berbagai
bangsa lain. Martojo (1989) menyatakan bahwa persilangan sapi Bali dengan
berbagai bangsa lain menghasilkan sapi silangan yang menunjukkan sifat
pertumbuhan yang meningkat sebanyak 50 – 100 %. Hal ini terutama terjadi
sebagai hasil persilangan dengan sapi Bos Indicus, Bos Taurus, dan
berbagai bangsa baru silangan seperti Santa Gertrudis, Droughtmaster, Belmot
Red, Braford, Brangus dan lainnya.
Upaya pelestarian sapi
Bali
Perhatian
terhadap upaya perbaikan mutu genetik sapi Bali telah dimulai sejak lama.
NATIONAL RESEARCH COUNCIL (1983) mencatat bahwa sejak tahun 1913 pemerintah
telah menjalankan ketentuan (hukum) yang melarang persilangan pada sapi Bali
untuk mempertahankan kemurnian bangsa sapi ini di Bali dan Pulau Sumbawa.
Sementara itu, sejak tahun 1942 telah mulai dilaksanakan program seleksi sapi
Bali yang baik. Program ini kemudian diubah dan diperbaiki pada tahun 1949,
dimana pemilik sapi jantan yang terpilih baik mendapat sejumlah subsidi uang
setiap tahun sebagai insentif agar dapat mempertahankan dan terus memperbaiki
kualitas sapi miliknya (PAYNE dan ROLLINSON, 1973). Perhatian pemerintah yang
lebih besar terhadap upaya pengembangbiakan ternak di Indonesia, selanjutnya
diwujudkan dengan dikeluarkannya Undang Undang No. 6 tahun 1967 yang merupakan
landasan bagi upaya pengembangbiakan ternak untuk mempertahankan dan
meningkatkan mutu bangsa ternak di Indonesia melalui upaya pemurnian atau
melalui persilangan antar bangsa ternak (DJARSANTO, 1997). Khusus untuk sapi
Bali, telah ditetapkan program nasional yang meliputi program pemurnian dan
peningkatan mutu genetik. Sebagai wilayah peternakan murni sapi Bali ditetapkan
Pulau Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan. Dimulai pada tahun 1976, di Pulau
Bali telah dilaksanakan program pemuliaan sapi Bali dengan melakukan seleksi
dalam bangsa, untuk memperoleh bibit sapi Bali yang baik mutunya melalui Proyek
Pengembangan dan Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) (SOEHADJI, 1990). Sementara itu,
persilangan hanya dapat dilakukan di luar wilayah peternakan murni. Dalam
perkembangannya di wilayah peternakan murni (sumber bibit) telah terjadi
pencemaran genetik sapi Bali dengan bangsa sapi lain (Bos taurus dan zebu),
kecuali sapi Bali yang ada di Pulau Bali. Sehubungan dengan itu, daerah di luar
Bali yang ditetapkan sebagai daerah pemurnian sapi Bali lebih dipersempit lagi,
yaitu Pulau Sumbawa di NTB, Pulau Flores di NTT, Kabupaten Bone di Sulawesi
Selatan dan Kabupaten Lampung Selatan di Propinsi Lampung. Walaupun demikian,
Pane (1991) mengemukakan bahwa hingga kini hanya sapi Bali yang terdapat di
Pulau Bali yang masih dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya. Upaya penetapan
daerah peternakan murni sekaligus dengan meningkatkan produktivitas sapi Bali
melalui kegiatan seleksi secara terencana tentunya akan sangat mendukung
program pelestarian plasma nutfah ternak asli tersebut. Pelestarian sapi Bali
perlu terus dilakukan dimana kegiatan tersebut harus dipandang sebagai upaya
antisipatif penyediaan “bahan baku” bagi perakitan bangsa sapi baru untuk dapat
mengantisipasi perubahan selera pasar di masa depan yang tidak mudah untuk
diprediksi. Sebagai contoh akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya
kesadaran untuk mengkonsumsi pangan sehat dan timbulnya perhatian/pandangan
yang negatif terhadap pangan berkolesterol maka terdapat perubahan permintaan
pada industri peternakan untuk menghasilkan daging dengan kandungan lemak
rendah (lean) dan tentunya dihasilkan dari suatu bangsa ternak tertentu.
Melalui program persilangan permintaan pasar tersebut dapat direspon dengan
membentuk suatu bangsa baru yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan dan
pasar di masa mendatang. Beberapa bangsa sapi terkenal seperti Brangus, Santa
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 57 Gertrudis, Droughmaster, dan lain-lain
merupakan bangsa sapi unggul sebagai hasil persilangan dari beberapa macam
bangsa sapi yang masih dipertahankan ada/dilestarikan.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai cirri-ciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Program pelestarian sapi Bali perlu didukung dengan metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang cepat, mudah dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya. Metode identifikasi kemurnian sapi Bali yang andal juga sangat membantu penentuan pemilihan pejantan sapi Bali sebagai pejantan yang dipergunakan di Balai Inseminasi Buatan sehingga pencemaran genetik pada wilayah yang ditentukan sebagai tempat pelestarian sapi Bali murni dapat dihindari. Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi penciri genetik sapi Bali yang diharapkan dapat dipergunakan sebagai metode untuk menentukan kemurnian sapi Bali. Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) telah merintis untuk mulai mencari sifat fisik/fenotip (struktur bulu) maupun dari aspek molekuler (protein darah dan DNA mikrosatelit) yang dapat dipergunakan sebagai cirri-ciri bangsa sapi Bali. Walaupun sulit dijustifikasi, terdapat perbedaan struktur bulu rambut sapi Bali dengan struktur bulu bangsa sapi lainnya (Simental Limousin dan Brangus). Namun hasil penelitian ini perlu diuji lagi di lapangan khususnya dalam penurunan alel dari tetua ke progeninya. Hasil pengamatan pada lokus Haemoglobin β menunjukkan bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah khas dan mirip seperti yang dilaporkan Namikawa et al. (1982b) bahwa alel haemoglobin βX (Hb βX) adalah alel yang paling umum ditemukan pada sapi Bali dan pada banteng sebagai leluhur dari sapi Bali. Dari hasil penelitian pada empat bangsa sapi dengan sampel yang terbatas, WINAYA (2000) mengemukakan bahwa lokus DNA mikrosatelit HEL9 pada sapi Bali adalah monomorfik, sedangkan pada bangsa sapi lain (Madura, PO dan Brangus) adalah polimorfik. Hasil penelitian Tim Peneliti Fapet IPB dan BIB Singosari (2000) dengan sampel terbatas pada tiga bangsa sapi lainnya (Simmental, Brangus, dan Limousin) memperkuat hasil penelitian tersebut. Selain itu diperoleh juga hasil bahwa lokus DNA mikrosatelit INRA035 pada seluruh sampel sapi Bali yang diteliti konsisten mempunyai dua alel sehingga kemungkinan dapat dipergunakan sebagai penciri genetik untuk sapi Bali. Handiwirawan (2003) melakukan pengujian lokus DNA mikrosatelit HEL9 dan INRA035 dalam sampel yang lebih besar pada sapi Bali di Propinsi Bali. Hasil identifikasi genotipe sapi Bali dan genotipe banteng sebagai pembanding menunjukkan bahwa alel A dan alel B merupakan alel yang monomorfik pada lokus mikrosatelit INRA035 pada sapi Bali sehingga dapat digunakan sebagai penciri genetik sapi Bali. Alel A pada lokus mikrosatelit HEL9 merupakan alel dengan frekuensi yang sangat tinggi pada sapi Bali (92,9%) yang dapat dipergunakan sebagai penciri genetik pendukung pada sapi Bali karena semua banteng yang diuji juga memiliki alel tersebut. Dari beberapa hasil penelitin tersebut penggunaan lokus mikrosatelit INRA035 sebagai penciri genetik sapi Bali dapat digunakan, namun sebaiknya dikombinasikan dengan pengujian lokus HEL9 dan identifikasi fenotipe (pola warna tubuh, bentuk tanduk dan struktur bulu) agar diperoleh hasil yang lebih akurat.
Perbaikan mutu genetik
sapi Bali
Program
pemuliaan khusus untuk sapi Bali telah ditetapkan dan dijalankan pemerintah.
Pokok-pokok pemuliaan sapi Bali seperti dikemukakan SOEHADJI (1990) adalah
meliputi:
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).
1. Menjalankan peternakan murni sapi Bali di Pulau Bali, NTB, Pulau Timor dan beberapa daerah di Sulawesi Selatan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional,
2. Melakukan uji performans dan uji zuriat di breeding centre P3Bali Pulukan Bali untuk memperoleh pejantan sapi Bali unggul yang digunakan untuk kawin alam atau produksi semen beku,
3. Membentuk populasi dasar sebagai sumber gen yang unggul dan membentuk kelompok sapi Bali betina unggul dan dipelihara di Pusat Pembibitan Sapi Bali di Pulukan, Bali dan Anamina, Dompu-Sumbawa,
4. Melakukan inseminasi buatan berskala nasional untuk mempercepat aliran gen yang unggul dari pejantan sapi Bali unggul. Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali (P3Bali) dilaksanakan sebagai upaya untuk memperbaiki mutu genetik sapi Bali di Propinsi Bali melalui seleksi, uji performans dan uji keturunan (progeny test).
Dalam
kegiatan ini, pejantan elit yang dihasilkan dari uji keturunan akan
dipergunakan BIB untuk Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004 58 diambil semennya
guna memperbaiki mutu genetik sapi Bali di seluruh Indonesia. Dari kegiatan ini
terlihat bahwa performans produksi dan reproduksi sapi Bali di P3Bali
dilaporkan lebih baik dibandingkan sapi Bali yang terdapat di Propinsi Bali,
NTB, NTT dan Sulsel (PANE, 1990). SUKMASARI (2001) dengan menggunakan metode
BLUP (best linear unbiased prediction) mendapatkan hasil bahwa sapi Bali yang
dipelihara di breeding center Pulukan mempunyai rataan nilai pemuliaan dugaan
lebih tinggi dibandingkan di instalasi populasi dasar (Marga, Baturiti,
Selemadeg, Penebel). Namun demikian kecenderungan genetik yang merupakan
perubahan rataan nilai pemuliaan dari suatu populasi dalam waktu tertentu untuk
bobot sapih dan bobot setahun didapati menurun dengan kemiringan berturut-turut
–0,60 dan – 0,30, sedangkan kecenderungan genetik pertambahan bobot badan
harian pascasapih meningkat dengan kemiringan 1,74 (analisa data dari
1991-2000). Secara keseluruhan, mulai tahun 1983 sampai 1999 kecenderungan
genetik sapi Bali di P3 Bali mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Dari
hasil penelitiannya tersebut, SUKMASARI (2003) juga menyarankan bahwa seleksi
agar didasarkan pada nilai pemuliaan agar seleksi dapat dilakukan lebih akurat
sehingga kecenderungan genetik sapi Bali di P3 Bali terus meningkat. Di luar
wilayah pemurnian (Propinsi Bali) kebijakan pemerintah untuk melakukan
persilangan melalui IB dapat dilakukan dengan bangsa sapi lain. Sejak
diperkenalkannya teknologi IB, persilangan dengan semen-semen Bos taurus dan
Bos indicus banyak dilakukan, termasuk pada sapi Bali di daerah-daerah kantong
bibit (NTT, NTB dan Sulsel). Jika dikaitkan dengan kerentanan sapi Bali
terhadap penyakit Jembrana dan MCF, program persilangan berdampak positif
terhadap kasus serangan penyakit tersebut. Sapi hasil persilangan memiliki
ketahanan yang lebih tinggi terhadap penyakit tersebut karena pewarisan gen
sapi Bos taurus, dan dengan demikian wilayah pengembangan sapi persilangan ini
dapat lebih luas. Di wilayah kantong bibit, berdasarkan pengalamannya peternak
memiliki kesukaan pada bangsa-bangsa tertentu dan memilih semen-semen dari
bangsa tersebut untuk dipergunakan dalam IB, seperti Simmental, Limousin,
Hereford dan Brangus. Tidak jarang anak betina hasil persilangan di-IB dengan
bangsa sapi yang sama kembali dan demikian seterusnya sehingga komposisi
genetik sapi Bos taurus menjadi terus meningkat. Tindakan yang demikian
dipastikan akan menurunkan kemampuan adaptasi sapi hasil persilangan tersebut
pada lingkungan yang keras sehingga produktivitasnya menjadi menurun. Sampai
saat ini pada wilayah-wilayah tersebut banyak terbentuk keturunan sapi Bali
dengan komposisi genetik yang tidak jelas. Evaluasi terhadap persilangan pada
sapi Bali nampaknya perlu dilakukan untuk menentukan komposisi genetik sapi
persilangan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dimana sapi tersebut
dikembangkan. Seiring dengan berjalannya Otonomi Daerah maka masing masing
wilayah dengan kondisi lingkungan yang berbeda akan mempunyai program
persilangan untuk menghasilkan sapi yang cocok dengan sistem usaha dan
kemampuan sumberdaya alamnya.
Sifat Pewarisan Sapi Bali
Seleksi sapi Bali dapat menyebabkan
perubahan keragaman genetik, tergantung dari cara seleksi yang digunakan.
Seleksi secara langsung mengakibatkan ragam genetik berkurang
sampai tercapainya keadaan konstan pada suatu generasi tertentu. Dengan seleksi
terarah suatu sifat yang dikehendaki maka mutu genetik dapat ditingkatkan.
Dalam memilih suatu sifat untuk dijadikan dasar seleksi perlu dipertimbangkan
beberapa hal, yaitu tujuan program seleksi, nilai heritabilitas suatu sifat,
nilai ekonomi dari adanya peningkatan sifat, korelasi antar sifat serta
biaya dan waktu dari program seleksi. Beberapa sifat yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi meliputi fertilitas, daya hidup, nilai karkas, bobot lahir,
bobot sapih, tipe dan konformasi tubuh, bobot dan kualitas bulu,
(Rusfidra,2006).
Potensi Persilangan Sapi Bali
Perkawinan silang atau persilangan
merupakan jalan pintas untuk memperoleh individu-individu yang memiliki
sejumlah sifat unggul yang dipunyai oleh kedua bangsa tetuanya. Di negara
berkembang, ternak tidak diseleksi secara intensif untuk sifat tertentu seperti
pertambahan bobot badan, akan tetapi bangsa ternak asli sering mempunyai
resistensi yang tinggi terhadap parasit, toleransi tinggi terhadap keadaan
cuaca yang kurang menguntungkan serta dapat tumbuh baik pada kondisi pakan yang
berkualitas jelek. Bila disilangkan dengan bangsa ternak produktif dari negara
lain, maka turunan pertamanya sering lebih baik hasilnya dibanding dengan
ternak asli. Turunan ini ternyata menggabungkan gen-gen untuk produktivitas
dengan daya adaptasi dari kedua bangsa tetua dan meningkatkan heterosis effect.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa kelemahan grading up adalah bila persilangan
dilakukan secara terus menerus ke arah ternak impor, maka sifat heterosis dan kualitas
adaptasi dapat hilang serta produksi menjadi turun dan bahkan jauh lebih rendah
dari bangsa ternak asli. Karena itu sebelum melaksanakan program grading up,
harus direncanakan sampai generasi keberapa persilangan dilakukan dan untuk
tujuan apa turunan persilangan tersebut digunakan. Seperti diketahui, apa yang
diharapkan dari persilangan adalah adanya efek heterosis dalam beberapa sifat
produksi sehingga melebihi rataan kedua bangsa tetuanya. Pada ternak sapi Bali
yang diharapkan adalah kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga mencapai
bobot potong muda yang cukup tinggi, kualitas karkas yang baik dan penggunaan
pakan yang efisien serta daya adaptasi dengan lingkungan yang cukup baik.
Metoda kawin silang digunakan untuk memperoleh individu yang memiliki sifat
produksi unggul dalam waktu singkat.
Sebagai contoh, perbaikan mutu genetik sapi Bali melalui
persilangannya dengan Sapi brahman. Sapi Bali memiliki sifat unggul seperti
daya tahan tinggi terhadap perubahan cuaca, kemampuan bertahan hidup pada kondisi
pakan berkualitas rendah. Sifat unggul yang diharapkan dari sapi brahman adalah
sifat pertumbuhannya yang cepat, kualitas karkas yang cukup baik serta adaptasi
terhadap lingkungan yang cukup baik pula, tahan terhadap penyakit serta tingkat
reproduktivitas yang cukup tinggi. Dari sapi persilangan kita kehendaki
adanya heterosis dalam performa produksinya. Heterosis
merupakan fungsi dari perbedaan keturunan persilangan dari rataan keturunan
murni.( Rusfidra,2006)
Peningkatan Kualitas genetik
Secara Umum, ada beberapa cara yang
dapat ditempuh dan dikombinasikan satu dengan yang lain untuk mempercepat
peningkatan kualitas genetik dan sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi
Bali yaitu:
- Melakukan pengebirian terhadap semua sapi jantan atau anak sapi jantan yang bukan pejantan atau yang tidak akan digunakan sebagai pejantan.
- mendatangkan pejantan unggul untuk dijadikan pejantan atau sebagai donor sperma.
- Membangun pusat pembibitan pada tingkat kabupaten yang potensil dan pada tingkat propinsi.
- Solusi lainnya, dengan menggalakkan Inseminasi Buatan dengan menggunakan sperma dari pejantan sapi Bali unggul yang ada ataukah mendatangkan sperma dari pusat IB seperti di Lembang. Selain itu, dengan menggalakkan Transfer Embrio yang dikombinasikan dengan IB.
BAB
4 KESIMPULAN
Beberapa kelebihan yang dimiliki
sapi Bali, seperti mempunyai fertilitas dan persentase karkas yang tinggi,
kadar lemak daging yang rendah, dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas
rendah, serta memberikan respon cukup baik dalam perbaikan pakan, menunjukkan
bahwa sapi bali berpotensi dan cocok untuk dikembangkan pada kondisi lapang di
Indonesia pada umumnya.
Perbaikan mutu genetik melalui
seleksi di wilayah peternakan murni dan persilangan dengan Bos taurus di
kantongkantong sumber bibit mampu memperlihatkan perbaikan produktivitas.
Program persilangan untuk sapi Bali yang saat ini dilakukan perlu dibuat lebih
jelas arahnya agar produksinya dapat lebih optimal.
Pelestarian sapi Bali sangat penting
dilakukan mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk dipergunakan sebagai
“bahan baku” pembentukan bangsa sapi baru untuk saat ini dan di masa depan
dalam mengantisipasi permintaan pasar yang terkadang sukar untuk
diprediksi.
diprediksi.
0 komentar:
Post a Comment